"Our protocols are in place, we've done the simulations and my stroke team is well trained, but most of our patients still arrive outside the time window." If this is the case in your hospital, read how we are solving this "final frontier" in stroke care.
Di satu ujung spektrum kita memiliki Austria, di mana sekitar 70% pasien stroke datang ke rumah sakit dalam waktu 3 jam setelah gejala muncul berdasarkan data yang diterbitkan dari Registri Unit Stroke Austria. Di sisi lain, kami memiliki data dari registri berbasis rumah sakit di Meksiko yang menunjukkan bahwa hanya sekitar 25% pasien datang di rumah sakit tepat waktu. Jadi apa perbedaannya?
Di Angels Initiative, kami meyakini bahwa tugas kami adalah untuk mengurai kerumitan dan bukan menambahnya. Jadi saat kami dihadapkan pada persoalan seperti ini, kami selalu bertekad untuk menyederhanakan permasalahan dengan sekuat tenaga sebelum kami mencoba dan mengatasinya. Dalam menganalisis titik terang seperti Austria, dan membandingkannya dengan rumah sakit seperti yang ada di Meksiko dan tempat lain yang bahkan memiliki angka yang lebih buruk, kami meyakini bahwa permasalahan ini harus diatasi dengan berfokus pada tiga aspek:
1. Memiliki jangkauan geografis yang baik terhadap Rumah Sakit Siap Stroke di wilayah masing-masing, sehingga pasien dapat sampai di rumah sakit tepat waktu saat menyadari adanya gejala. Inilah yang terjadi di Austria, yang bertekad mewujudkan jangkauan geografis sedemikian rupa sehingga sebagian besar pasien stroke berada dalam jarak tempuh 45 menit dari rumah sakit Siap Stroke.
2. Work with ambulance services to deliver stroke patients only to Stroke Ready hospitals. Di wilayah yang lebih maju, upaya ini mencakup daftar periksa yang lebih mumpuni dengan melakukan tindakan skrining Penyumbatan Pembuluh Besar sebagai bagian dari pilihan ke mana pasien stroke harus diantarkan.
3. Educate the at-risk population about the signs of stroke and what to do when they appear.
Dalam 4 tahun terakhir, kami telah meraih banyak sukses dalam membantu berbagai wilayah meningkatkan jangkauan regional mereka terhadap layanan stroke. Di Eropa saja, kami telah membantu lebih dari 130 rumah sakit yang tidak menangani pasien stroke sebelumnya untuk mengimplementasikan protokol stroke akut. Upaya kami belum tuntas - dengan menggunakan rumus matematika dan teknologi pemetaan yang serupa dengan yang digunakan di Austria, sekarang kami dapat membantu koordinator stroke regional dalam merencanakan jangkauan regional mereka, serta rumah sakit baru untuk menjangkau area yang membutuhkan.
Kami telah memetik pelajaran dari contoh di Bulgaria, yang mengambil langkah penting dalam menghitung jumlah pasien stroke yang masuk rumah sakit dengan layanan ambulans yang tidak siap stroke. Dalam kasus mereka, mereka menyadari bahwa dari 134 rumah sakit yang menerima pasien stroke, hanya 34 yang menyediakan perawatan akut bagi pasien mereka. Sebuah hasil yang dramatis, tetapi juga merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk memecahkan permasalahan. Layanan ambulans memiliki posisi terbaik untuk memecahkan masalah ini: dari contoh titik terang kami di Slovakia dan Spanyol, kami telah mempelajari bahwa hal ini dapat dilakukan dengan protokol yang mudah diimplementasikan dan sebuah simpul umpan balik yang memastikan bahwa protokol ini diimplementasikan.
Aspek yang tampaknya sedikit lebih sulit untuk ditangani adalah aspek ketiga, yaitu mengedukasi populasi berisiko. Tampaknya terlihat mudah, mengidentifikasi populasi berisiko, dan mengedukasi mereka tentang gejala stroke dan apa yang harus dilakukan jika gejala tersebut muncul. The challenge is that the average age of stroke is around 70 years and finding ways to communicate to them over digital and social channels is not as easy as it may be to younger populations.
The second problem is that, whether we like it or not, no one wants to talk about stroke. Ini adalah penyakit menakutkan yang sering dianggap sebagai “sama seperti penyakit lain yang dapat membunuh saya tanpa saya bisa berbuat apapun untuk mengatasinya”, jadi kebanyakan orang seringkali memilih untuk tidak memikirkannya.
Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk memandang pasien yang berpotensi stroke dengan cara berbeda. Sesuatu yang membuat saya tersadar saat saya berjalan melintasi unit stroke besar di Belgrade - mereka bukan semata-mata pasien stroke, mereka adalah kakek dan nenek bagi seseorang. Ini adalah ruangan yang dipenuhi oleh kakek dan nenek yang tidak berdaya!
Ada penelitian sangat menarik yang dilakukan di Italia baru-baru ini yang menunjukkan bahwa hal pertama yang dilakukan 90% pasien setelah merasakan gejala mereka adalah menghubungi seseorang untuk meminta saran. Dalam hampir 70% kasus orang yang dihubungi tersebut adalah kerabat atau teman. Namun amat disayangkan, dalam penelitian ini hanya 30% orang yang dimintai saran tersebut menyarankan agar pasien stroke menghubungi ambulans. Dengan kata lain, jika kita ingin mengedukasi populasi tentang stroke, kita harus mencari cara untuk mengedukasi kalangan kakek nenek beserta cucu mereka.
Kami juga menyebutkan bahwa orang-orang tidak ingin membahas tentang sesuatu seperti stroke, sehingga tidak ada salahnya untuk belajar dari proyek kesadaran penyakit seperti Distinguished Gentlemen's ride yang menemukan cara untuk melibatkan para pria dalam hal-hal yang mereka juga enggan memikirkannya seperti kanker prostat dan bunuh diri. Pendekatan mereka adalah melibatkan kalangan pria dalam sesuatu yang mereka enggan untuk membicarakannya - yaitu didandani ‘Perlente’ menyerupai pria-pria dalam film 70an dan mengendarai sepeda motor.
Satu hal yang kami ketahui adalah bahwa populasi berisiko tersebut senang untuk membicarakan atau terlibat dalam hal-hal yang berhubungan dengan cucu mereka. Mengapa tidak memanfaatkannya sebagai cara untuk mengedukasi seluruh keluarga mengenai stroke sambil memberi cara bagi anak-anak untuk lebih terlibat dengan kakek nenek mereka?
Dengan demikian kami mengembangkan sebuah program di mana anak-anak berusia 5 hingga 9 tahun dapat memilih dua kakek nenek/kerabat/bibi atau paman yang akan mereka berikan edukasi sebagai bagian dari misi mereka untuk menjadi Pahlawan FAST. Kami bekerja sama dengan ahli dari Departemen Edukasi di Universitas Makedonia untuk membuat sebuah program berdurasi 5 minggu yang melibatkan anak-anak untuk melakukan kegiatan menyenangkan dan aktif, serta menonton animasi dan membuat "kartu pesan" untuk kakek nenek mereka yang akan digunakan untuk mengedukasi mereka tentang cara memerangi bekuan darah yang dapat menyebabkan stroke. Kami juga melibatkan orang tua melalui situs web dan melalui penyajian semua materi yang dibawa pulang anak-anak secara insidental.
Krisis COVID-19 mengharuskan dihentikannya penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah sehingga menyebabkan tertundanya implementasi kami. Hal ini mendorong kami untuk memulai kembali semuanya dari awal. Kami perlu menemukan cara ‘digital’ untuk melibatkan anak-anak namun tetap mempertahankan agar kelas tetap terasa menyenangkan dan interaktif. Kami juga ingin agar anak-anak menjalankan misi untuk mengedukasi kakek nenek mereka. Tantangan terbesar dalam program digital, sebagaimana yang kita semua alami belakangan ini dengan semua konferensi dan pelatihan virtual, adalah menemukan cara agar orang tidak jenuh menjalaninya.
Solusi kami adalah dengan mengubah kampanye berbasis sekolah berdurasi 5 minggu menjadi 5 ebook digital yang penuh aktivitas menyenangkan, permainan, animasi, dan aktivitas untuk mengedukasi keluarga mereka melalui pengalaman. To keep engagement levels high, we also completely overhauled the website (fastheroes.com) and gamified the whole experience. Dengan kata lain, segala hal yang dilakukan keluarga secara online akan menghasilkan poin dan lencana bagi mereka yang dapat digunakan melalui beberapa cara. Mereka dapat membandingkan diri mereka dengan teman-teman mereka di papan peringkat, mereka dapat menggunakan poin untuk membuka kunci game online dan mereka bahkan dapat menggunakan poin mereka untuk memperoleh cinderamata digital Pahlawan FAST yang dapat mereka unduh untuk diri mereka sendiri.
Sebagai percontohan, kami telah meluncurkan kampanye digital di Portugal, Spanyol, Hungaria, dan Polandia, dan sejauh ini, kami telah merangkul 7.000 keluarga untuk berpartisipasi dalam program tersebut. Dari keberhasilan percontohan tersebut, sekarang kami mulai mengembangkan kampanye digital ke sejumlah negara lain.
Some early data from a group of parents, whose kids participated in the FAST Heroes campaign in Greece, showed that only around 4% of the parents knew the most common symptoms of stroke before implementation. This number jumped dramatically with 88% being able to recall at least 3 symptoms after implementation.
Kami berharap bahwa dengan menemukan cara untuk melibatkan populasi berisiko kita dalam kegiatan yang mereka tidak keberatan untuk terlibat di dalamnya (cucu-cucu mereka) dan dengan menyampaikan pesan kami kepada mereka melalui cara yang mudah diingat dan menyenangkan, kami dapat menghasilkan efek yang sama dalam transfer pengetahuan seputar gejala stroke paling umum dan keharusan untuk menghubungi ambulans melalui nomor 112 dengan segera.
Jika kita melakukannya, kita mungkin baru saja menemukan sebuah cara untuk mengatasi perbatasan akhir dalam pengobatan stroke akut.